Jumat, 16 September 2016

Situs Manusia Purba Sangiran



Situs Sangiran merupakan salah satu situs Manusia Purba yang terbesar dan terpenting di dunia. Situs Sangiran terdapat di Kabupaten Sragen dan Karanganyar. Pada situs Sangiran telah ditemukan sebanyak sekitar 100 fosil manusia purba (Homo erectus) atau 50% lebih temuan fosil Homo erectus di dunia, dan lebih dari 60% yang ditemukan di Indonesia. Oleh karena kandungannya yang mempunyai nilai tinggi pada kesejarahan dan ilmu pengetahuan, maka Situs Sangiran telah ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya. Selain itu, UNESCO telah menetapkan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage).


Situs Sangiran merupakan situs prasejarah penghasil fosil-fosil hominid dan fosil fauna Pleistosen yang sangat terkenal di dunia internasional. Hingga sekarang situs ini masih menjadi sumber data arkeologi, geologi, paleontologi, dan paleoantropologi untuk mengungkapkan kehidupan purba, evolusi manusia, dan evolusi lingkungan. Dalam kenyataannya, Situs Sangiran tidak hanya dapat memberikan gambaran mengenai evolusi fisik manusia semata, tetapi bahkan mampu memberikan gambaran mengenai evolusi budaya, fauna, dan lingkungan. Fosil-fosil manusia dan binatang, serta alat-alat batu paleolitik dalam kuantitas dan kualitas yang prima telah berhasil ditemukan kembali dalam lapisan-lapisan purba berusia 2 juta tahun. Oleh karena itu, situs ini menjadi penting bagi pemahaman evolusi manusia secara umum bukan hanya bagi kepentingan nasional, tetapi juga telah dianggap sebagai pusat evolusi manusia di dunia. Situs Sangiran terdapat di Kabupaten Sragen dan Karanganyar. Luas wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan situs ini seluas sekitar 47 km2 atau 4700 hektar. Dengan ditetapkannya Situs Sangiran sebagai Kawasan Strategis Nasional diharapkan terdapat seperangkat peraturan yang kuat yang akan mengatur aktivitas manusia, pemanfaatan lahan dan lingkungan situs, maupun pembangunan-pembangunan di areal situs serta lingkungannya. Dengan demikian kelestarian situs akan terus terjaga. 



Situs Manusia Purba Sangiran terletak ± 17 km di sebelah utara Solo. Secara administratif terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Letak astronomis 7o24’34”-7o30’08”LS dan 110o48’36”-110o53’24” BT.
Situs Sangiran mulai dikenal tahun 1893, ketika Eugene Dubois datang menelitinya. Kegiatan pemetaan baru dilakukan pada tahun 1932 oleh L.J.C. van Es. Peta yang dihasilkannya adalah peta geologi skala detil, yang dua tahun kemudian digunakan oleh G.H.R. von Koenigswald untuk melakukan survei eksploratif dengan temuan beberapa artefak prasejarah. Temuan fosil hominid pertama kali terjadi pada tahun 1936 oleh penduduk setempat di Dusun Ngargorejo (Bukuran, Kalijambe, Sragen), yang kemudian diserahkan kepada Koenigswald. Temuan tersebut berupa fragmen rahang atas (maxilla) kiri, fragmen rahang bawah (mandibula) kanan, 3 geraham (molar), dan 1 premolar dari spesies Homo erectus arkaik, yang kemudian diberi kode Sangiran 1. Temuan-temuan tersebut terkandung dalam lapisan tanah lempung hitam dari Formasi Pucangan Atas. Sepanjang tahun 1937–1941, Koenigswald semakin intensif melakukan eksplorasi di Sangiran dengan mengerahkan penduduk setempat. Sejumlah fosil Homo erectus pun ditemukan.
Pada tahun 1969, sebuah fosil tengkorak Homo erectus yang relatif lengkap ditemukan di percabangan Kali Pucung di Dusun Pucung (Dayu, Gondangrejo, Karanganyar). Spesimen ini ditemukan pada endapan pasir fluvio-volkanik Formasi Kabuh, yang kemudian dikenal sebagai Sangiran 17. Bagian wajahnya cukup banyak terwakili. Pada rahang atas fosil tengkorak tersebut masih menempel 5 gigi. Namun bagian samping atas (parietal) tengkoraknya tidak ada.
Situs Manusia Purba Sangiran merupakan satu-satunya situs prasejarah di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Secara geografis kawasan Sangiran yang terletak di lereng barat laut Gunung Lawu, merupakan suatu cekungan alam yang dikenal dengan nama depresi Solo yang dikelilingi oleh bukit-bukit, dengan puncak tertinggi sekitar 180 m dari permukaan laut. Di sebelah utara terdapat jajaran Pegunungan Kendeng dan di sebelah selatan terdapat jajaran Pegunungan Selatan
Sangiran merupakan salah satu situs penting untuk perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan terutama untuk penelitian di bidang antropologi, arkeologi, biologi, paleoantropologi, geologi, dan tentu saja untuk bidang kepariwisataan. Keberadaan Situs Sangiran sangat bermanfaat untuk mempelajari kehidupan manusia prasejarah karena situs ini dilengkapi dengan fosil manusia purba, hasil-hasil budaya manusia purba, fosil flora dan fauna purba beserta gambaran stratigrafinya.
Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah, yaitu Kali Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain. Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga sekarang banyak ditemukan fosil-fosil manusia maupun binatang purba.
Dilihat dari hasil temuannya, Situs Sangiran merupakan situs prasejarah yang memiliki peran yang sangat penting dalam memahami proses evolusi manusia dan merupakan situs purbakala yang paling lengkap di Asia bahkan di dunia.
Menyadari pentingnya nilai Situs Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya masalah pemahaman evolusi manusia dan lingkungan alam, maka pada tahun 1995 pemerintah Republik Indonesia mengusulkan situs ini ke UNESCO untuk dapat dimasukkan ke dalam World Heritage List. Akhirnya pada tanggal 5 Desember 1996, Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, yaitu sebagai The Early Man Site.



Penelitian tentang manusia purba dan binatang purba diawali oleh G.H.R.Von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an. Beliau adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Hasil penelitian kemudian dikumpulkan di rumah Kepala Desa Krikilan, Bapak Totomarsono, sampai tahun 1975.
Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2yang terletak di samping Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari ruang pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual (tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang penyimpanan, mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft ‘batu indah bertuah’ yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro).
Di Museum Sangiran terus dilakukan pembenahan dan penambahan bangunan maupun fasilitas pendukung untuk mempertegas keberadaannya sebagai warisan dunia yang memiliki peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk menciptakan kenyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Museum Sangiran sekarang telah berevolusi menjadi sebuah museum yang megah dengan arsitektur modern.


Berikut ini adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:
1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus mojokertensis(Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika), Homo neanderthal Eropa (replika),Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens. 
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus(gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
4. Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
5. Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak. Sebagai bagian dari warisan budaya dunia (World Culture Heritage) serta bagian dari Cagar Budaya Nasional, Situs Sangiran memiliki kandungan nilai tinggi pada kesejarahan dan ilmu pengetahuan, maka sudah sepantasnya Situs Sangiran perlu terus dijaga kelestariannya.
Sebagai bagian dari warisan budaya dunia (World Culture Heritage) serta bagian dari Cagar Budaya Nasional, Situs Sangiran memiliki kandungan nilai tinggi pada kesejarahan dan ilmu pengetahuan, maka sudah sepantasnya Situs Sangiran perlu terus dijaga kelestariannya.
Kepustakaan
•    Boniface, Priscilia. 1995. Cultural Heritage Management. New York: van Nostrand Rheinhold.
•    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995/1996. Laporan Hasil Rapat Koordinasi Rencana Pembangunan Cagar Budaya Sangiran. Surakarta , Indonesia.
•    Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Rencana Induk Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Sangiran. Jakarta, Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Rencana Pengembangan Cagar Budaya Sangiran. Jakarta, Indonesia.
•    Widianto, H., Samidi Gautama, dan G. Gutomo. 1996. Laporan Studi Pemintakatan Situs Sangiran. Bagian Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan, Jawa Tengah, Indonesia.
•    Widianto, H. 1994. Situs Sangiran: Posisi dan Potensinya Bagi Pemahaman Studi Evolusi Manusia.Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala/ Proyek Konservasi Candi Borobudur, Jawa Tengah Indonesia.
•    Widianto, H., Truman Simanjuntak, dan T. Jacob. 2009. Laporan Pengembangan Museum Pra Sejarah Sangiran.
•    http://whc.unesco.org/en/list/593
•    http://en.wikipedia.org/wiki/Sangiran
•    http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/menyusuri-jejak-manusia-purba-di-sangiran-jawa-tengah
•    http://whc.unesco.org/en/list/593
•    http://www.wacananusantara.org/sangiran-situs-manusia-pura-indonesia/
•    http://en.wikipedia.org/wiki/Eug%C3%A8ne_Dubois
•    http://history1978.wordpress.com/2012/01/07/lingkungan-situs-prasejarah-sangiran-catatan-lain-kegiatan-studi-sejarah/
•    iirmaku.blogspot.com
•    irvanfaturr1.blogspot.com
•    id-panorama.blogspot.com
•    geologi.iagi.or.id
•    mikejkt.wordpress.com
Share:

Kamis, 15 September 2016

Manuskrip Paling Misterius di Dunia


SETIDAKNYA sudah seabad para ilmuwan dibuat pusing oleh Manuskrip Voynich, sebuah manuskrip misterius berisi gambar dan tulisan yang maknanya hingga kini belum bisa dipecahkan. Baru-baru ini para ilmuwan Amerika berhasil menentukan bahwa manuskrip itu dibuat pada abad ke-15. Proses penentuan umur manuskrip itu dimulai tahun lalu. Namun kepastian soal usia manuskrip baru diumumkan minggu kedua Februari lalu. Manuskrip itu ternyata seratus tahun lebih tua dari perkiraaan semula, sekaligus mematahkan sejumlah teori tentang asal-muasal manuskrip itu. Nama manuskrip itu diambil dari nama penjual buku asal Polandia, Wilfrid Voynich, yang menemukan manuskrip itu pada 1912 di Villa Mondragone dekat Roma. Kerumitan buku setebal 250 halaman itu membuat Da Vinci Code tak ada apa-apanya.



Buku itu ditulis tangan. Ada 250 ribu karakter asing di dalamnya. Karakter-karakter itu disusun dalam kelompok-kelompok yang mirip kata dan kalimat; beberapa punya kemiripan dengan huruf Latin dan angka Romawi, sementara karakter lainnya tak dapat ditemukan dalam bahasa manapun di dunia. Selain itu, tulisan tangan yang membingungkan itu dikelilingi ilustrasi-ilustrasi rumit. Misalnya, tumbuhan yang tak bisa diidentifikasi, simbol astrologi, saluran pipa yang ruwet, serta perempuan telanjang yang sedang menari atau mandi dalam cairan hijau yang sangat aneh.“Siapa yang tahu apa yang ditulis dalam manuskrip ini… Lihat saja gambar-gambar itu: apakah mereka organisme botanis? Atau organisme laut? Atau astrologi? Tak ada yang tahu,” kata Greg Hodgins, asisten riset sekaligus asisten profesor Jurusan Fisika University of Arizona yang bekerjasama dengan Arizona School of Anthropology.


Dengan menggunakan teknologi canggih di laboratorium NSF-Arizona Accelerator Mass Spectrometry, Hodgins memecahkan setidaknya satu dari puluhan misteri yang menyelebungi buku itu. Yakni, menentukan waktu pembuatan manuskrip. Untuk menentukan usia manuskrip yang disimpan di Beinecke Rare Book and Manuscript Library di Yale University itu, dia memakai teknologi Carbon Dating dan menggunakan empat sampel berukuran seperenambelas inci yang diambil dari empat halaman berbeda.

“Empat halaman itu sengaja dipilih dari empat bagian berbeda untuk menentukan apakah buku itu ditulis dalam kurun waktu yang panjang,” ujar Hodgins kepada Discovery News. Tim Hodgins menentukan bahwa sampel itu ditulis antara 1404 dan 1438 –jangka waktu yang terhitung singkat. “Alam berpihak pada kami. Sepanjang abad ke-15, level radio karbon berubah dengan amat cepat, yang memungkinkan kami mempersempit kurun waktunya. Terkadang level radio karbon atmosfir tetap konstan selama beberapa dekade, bahkan selama beberapa abad. Dan dalam waktu-waktu itu, proses penanggalan radio karbon tak setepat (yang kami lakukan sekarang).”

Menurut para ilmuwan, proses penentuan waktu itu dapat diandalkan karena prosesnya diulang empat kali dengan lembaran berbeda.“Amat penting menyadari bahwa proses ini menentukan waktu hidup hewan (yang kulitnya dipakai untuk membuat manuskrip), bukan kapan buku ini dibuat. Kami belum bisa memperkirakan jarak waktu antara kematian binatang dan ketika penulisnya memakai lembaran kulitnya untuk menulis. Buku ini amat rumit, dan jelas perlu waktu beberapa tahun untuk menyelesaikannya.”Keberhasilan Hodgins dan timnya ini mematahkan beberapa hipotesis tentang manuskrip itu. Sejak Wilfrid Voynich mengumumkan penemuannya, dengan harapan memecahkan isinya, teori bermunculan tentang penulis dan isi buku tersebut. Sudah banyak kriptografer profesional maupun amatir, termasuk ahli sandi Perang Dunia I dan II, berusaha memecahkan misteri isi manuskrip. Tak satu pun berhasil. Manuskrip itu tetap menjadi misteri bagi kriptografi.

Voynich mengklaim bahwa pemilik buku itu adalah Raja Rudolf dari Dinasti Habsburg, Jerman, pada abad ke-16, dan bahwa penulisnya adalah Roger Bacon, seorang pendeta Inggris yang juga ilmuwan pada abad ke-13. Sebuah teori yang dipatahkan penemuan ini. Spekulasi lainnya, manuskrip ini adalah kitab rahasia dari sebuah sekte keagamaan, dokumen terakhir dari sebuah bahasa yang sudah punah, kode yang tak dapat dipecahkan, hingga resep untuk “eliksir kehidupan”. Namun ada juga ahli yang beranggapan bahwa manuskrip itu adalah sebuah lelucon konyol (hoax), yang kemungkinan dibuat oleh seorang ahli matematika Inggris dan astrolog yang bekerja untuk Raja Rudolf. Pada 2003, Gordon Rugg, seorang ilmuwan komputer, memperlihatkan bahwa teks serupa dengan yang ada dalam buku tersebut dapat dibuat dengan menggunakan Cardan Grille, sebuah alat enkripsi sandi yang dibuat sekitar 1550-an. “Meski saya belum 100 persen yakin dengan ketepatan perkiraan waktu (yang ditemukan Hodgins dan timnya), menurut hemat saya waktunya cukup mendekati,” ujar Nick Pelling, penulis The Curse of the Voynich kepada Discovery News.
“Sejak pertengahan 1920-an, beberapa ilmuwan meyakini bahwa beberapa tulisan ditambahkan ke dalam manuskrip pada abad ke-15, yang berarti manuskrip itu tak mungkin dibuat setelah tahun 1500,” katanya.

“Sayangnya, banyak orang mempertahankan anggapan bahwa manuskrip itu ditulis pada abad ke-16 atau bahkan abad ke-17, terutama teori ‘hoax’, yang menyebabkan para sejarawan mainstream mengurungkan niat mereka untuk terlibat,” ujar Pelling. [Discovery News]
Share:

Find us on Facebook

Popular Posts

Masuk Portal Guru Pembelajar Online

Masuk Sim Guru Pembelajar